Part II
Sabtu, 25 Mei 2013
Sumpah
rame banget, lebih rame dari pertama gue liat diawal saat nunggu mas Dian
jemput. Pintu masuk Manohara masih ditutup untuk umum, 15 menit lagi baru
dibuka, begitulah yang kami dengar dari petugas keamana Walubi. Pintu telah
dibuka, para pengunjung yang ingin menyasikan perayaan Waisak diperbolehkan
masuk. Para pengunjung harus melewati pintu metal detector terlebih dahulu dan
pemeriksaan tas oleh petugas. Antrian terlihat sangat panjang mulai dari
anak-anak hingga mbah-mbah yang sudah lanjut usia antri dalam barisan. Petugas
kemanan menolak untuk diwawancarai ketika kami mendekat untuk melakukan
wawancara.
“Yaudah
kita lanjut aja ke dalam”, seru Anisa untuk meninggalkan area pintu
masuk yang sangat ramai akan
antusiasme para pengunjung. Masuklah kami kedalam area candi
Borobudur.
“Borobudur,
itu Candi Borobudur”, gue menunjuk ke arah candi yang terlihat baru kepalanya
saja karena terhalang oleh beberapa tenda marinir. Akhirnya untuk yang pertama
kali gue bisa melihat Borobudur secara langsung.
”Ayo
deh langsung aja keatas, nunggu disana aja”, dengan semangat ‘45 gue mengajak teman-teman
lainnya untuk lebih dekat ke Candi Borobudur.
Aryo yang kelelahan, bercucuran keringat
mengajak teman-teman untuk bersantai sejenak.
“Istirahat
sebentar Yo,
duduk-duduk aja dulu disini”,
kata Aryo pelan.


“Ini
bener-bener kaya gak kekontrol ya?” ceteluk gue.
“Kaya
Borobudur dijebol terus semua orang bisa masuk bebas, makanya rame banget”,
sambung Anisa.
Bingung
sih awalnya saat gue
masuk ke Borobudur untuk ngliput acara perayaan Waisak ini. Ramai banget
sumpah, ritual agama yang seharusnya sakral, hening dan tenang berubah seperti
pertunjukan wisata yang gaduh dan sesak akan antusiasnya para pengunjung yang
menganggu kekhusyukan ritual agama ini.
Bukan
pembenaran, tapi toh gue kesana dengan rombongan 15 orang ini dengan tujuan
yang cukup jelas yaitu acara peliputan dari kampus gue, seminggu sebelum
keberangkatan gue pun menghubungi seketariat Walubi yang berada di Malang untuk
meminta surat rekomendasi, tapi mereka menuyuruh langsung saja ke bagian humas
saat perayaan tiba. Teman
gue yang jalan duluan dari Jogja juga sudah meminta kartu pers namun kartu peserta, fotografer dan pers sudah
habis, dan kita diperbolehkan memakai kartu pers internal kami.
Ketika gue, Anisa, Apink dan Ani yang sedang asik mengobrol terdengar suara gaduh. Ternyata ada beberapa biksu yang sedang
melakukan ibadah di salah satu sudut Candi Borobudur. Sekejap para fotografer mendekati
untuk mendapatkan angle
terbaiknya, tanpa mempedulikan biksu yang sedang beribadah. “Mereka memang
berhasil menjadi fotografer tetapi mereka gagal menjadi MANUSIA”.
Miris, sangat miris kepada mereka yang seenaknya memotret tanpa
memedulikan objek yang difoto. Jujur tangan ini gatal ingin ikut mengabadikan
momen yang bagus dan jarang seperti itu tapi gue urungkan niat gue ini cukup
dari kejauhan gue memotret kejadian itu
Ada
yang mencolok dari pelantaran Candi Borobudur, sebuah pangung dengan patung
Budha dengan disamping-sampingnya terdapat janur kuning. Penasaran untuk apa
panggung tersebut kami pun mendekat.
“Oh
ini ternyata panggung utamanya” seru Apink seketika saat melihat panggung dari depan. Peristirahatan kami
pindahkan persis didepan panggung utama yang telah disediakan karpet untuk para
pengunjung melihat acara perayaan Waisak. Disinilah nanti pembukaan perayaan
waisak oleh perwakilan Walubi dan sambutan oleh Menteri Agama setelah itu
dilanjutkan dengan pelepasan 1000 lampion.

Hari
semakin sore, saat itu jam menunjukan pukul17.00, karpet yang tadinya hanya
terisi oleh beberapa orang sekarang mulai dipenuhi oleh pengunjung yang tak mau
terlambat melihat pembukaan acara. Teman-teman kami yang dari Candi Mendut pun sudah bergabung besama kami.
Rintik-rintik
hujan tak menyurutkan para pengunjung untuk melihat acara Waisak, dipakainya
payung serta jas hujan telah mereka siapkan. Rombongan biksu dan biksuni
memasuki panggung utama dengan pakaian khas mereka. Hujan makin derasnya
membasahi Candi Borobudur dan
entah kenapa acara belum dimulai juga.

“Kita
sambut kedatangan Menteri Agama Republik Indonesia”, MC berteriak ketika ada rombongan dengan
pakaian batik bergerombolan memayungi
salah satu lelaki dibalik badan besar mereka. Bukan sambutan bahagia
tapi teriakan
kekecewaan pengunjung yang keluar dari mulut. Yah hanya karena menunggu Menteri
Agama perayaan Waisak ditunda hingga kurang lebih 2 jam. Pukul 20.00 panitia
mengumumkan bila 30 menit dari sekarang hujan tak reda maka pelepasan 1000
lampion ditiadakan. Benar saja hujan bukanya reda tetapi malah semakin
deras, melihat cuaca seperti ini rombongan DIANNS pun sepakat untuk keluar
lebih awal dari Candi Borobudur.
Kesedihan
terpancar dari wajah teman-teman DIANNS, tujuan utama meliput pelepasan 1000
lampion terpaksa hanya menjadi bayangan saja. Kalau saja tahu akan hujan deras
sehingga pelepasan lampion ini ditiadakan mungkin mereka tidak akan ikut dalam
peliputan Waisak ini. Ya mau
bagaimana lagi? gue? Sangat
sedih sumpah gak bisa mengabadikan
pelepasan lampion ini, tapi
ya sudahlah terima saja dengan senyuman.
Kami memang sedih tapi mungkin mereka lebih sedih karena tidak dapat
menerbangkan niat harapan mereka bersama lampion di saat Waisak.
Kuyup
Hujan lalu Kembali ke Homestay
Homestay
kembali dipenuhi dengan suara kaki. Teman-teman bergantian keluar-masuk kamar
mandi untuk membasuh badan agar tidak masuk angin .Tak banyak obrolan yang
keluar dari mulut kami hanya raut kedinginan dan basah kuyup akibat badan terguyur bebas air hujan. Perut
yang kosong membawa kami pada keheningan. Lapar dan lelah.
Kami
semua berkumpul di ruang tengah, menunggu Anisa, Fajar dan Ican yang belum datang.
Anatara menunggu teman kami ini atau menunggu datangnya nasi goreng yang dibeli
mereka. gue melirik jam ditangan, sudah hampir pukul 12 malam.
“Makasih
ye, buru deh ganti baju”,
sahut Aryo melihat teman-teman yang baru datang. Makan malam kali ini sedikit
berbeda, hanya sesekali tawa yang keluar dari obrolan kami.
“Besok
gimana nih? Jadi liat sunrise di Bukit Setumbu gak?” tanya gue memecah
keheningan.
Tak
ada kebisingan saat kita memulai tidur berbeda saat malam pertama menginap di
homestay Jogja. Badan yang kedinginan serta kaki yang serasa ingin copot membuat mata langsung tertutup
ketika badan jatuh diatas kasur. Suara televisi dan kesibukan diruang tengah
membangunkan gue. Setengah 5 pagi ketika melihat jam di hp, gw masih sempat berpikir untuk pergi ke Bukit Setumbu. Hanya
ada dua orang yang gue lihat ketika keluar dari kamar.
Bukit
Setumbu dan Selamat tinggal
Minggu,
26 Juni 2013
“Pagi
Pak” menyapa pemilik homestay yang sedang menonton ceramah pagi di sebuah
telivisi. Tidak semua yang ikut hanya bebrapa saja dari kami. Lima motor siap
berangkat.
Hanya
butuh waktu 10 menit untuk sampai di area Bukit Setumbu. Kami meparkir motor di
tempat yang telah disediakan warga, harga masuknya sekitar Rp15.000. Pas gue tanya tiket masuk kepada tiga
bapak-bapak yang memegang karcis dan uang di tangannya. Kami semua saling
pandang-memandang. Gak ada yang bawa uang, dompet ketinggalan semuanya di
homestay.
“Kalian
jalan aja duluan, gw nunggu disini”. Gue
menelepon mas Dian meminta tolong membawakan uang, mas Dian mengiyakan.
Teman-teman sudah jalan, hanya tersisa gue dan tiga bapak-bapak yang sedang asik menghitung uang. “Wah rame dek, liburan gini bisa sampe 400
rang yang dateng”,
jawab bapak berbaju putih sambil menghembusan asap rokoknya ketika gue bertanya
tentang pengunjung Bukit Setumbu.
Mas
Dian datang dengan menyodorkan uang 200 ribu.
“Terima
kasih ya mas Dian, maaf loh jadi ngerepotin kami tadi buru-buru jadi gak ada yang bawa dompet deh”.
“Gapapa
ko, oh iya nanti kalo mau check out kabarin ya”, mas Dian pergi lagi dengan motor Yamaha
MX-nya.
Gue membayarkan tiket masuk dan segera menyusul
teman-teman lainnya. Tanjakan demi tanjakan gue lewati, banyak orang yang sudah
turun sementara teman-teman sedang asik menyeruput teh hangat di gazebo pinggir
bukit ketika gue sampai.
Matahari
sudah mulai menunjukan seluruh wajahnya, kabut sudah hampir menghilang ketika gue
mulai mengatur shutter speed di kamera. Dari jauh tampak Candi Borobudur muncul
di antara kabut-kabut pagi. Indah. Namun lain halnya dengan salah satu teman
kami, indahnya pagi ini bukan karena pemandangan yang disajikan oleh sunrise di
Bukit Setumbu. Fajar menggungkapkan perasaannya kepada Bintang. Dua mahluk ini
yang paling terlihat bahagia diantara kami. Pemandangan indah ini hanya menjadi
pemanis untuk mereka. Walau jawaban “iya” baru dijawab Bintang saat di Malang,
Bukit Setumbu menjadi saksi kisah mereka untuk hari-hari selanjutnya sebagai sepasang
kekasih.

Setelah
puas mengambil gambar dan canda tawa di Bukit Setumbu kami semua kembali ke
homestay. Teman-teman yang tidak ikut sibuk menjemur pakaian dan sepatu saat
kami sampai di perkarangan homestay. kami pun langsung turun dari motor dan
mengambil semua pakaian basah untuk ikut menjemur di sekitar pekarangan
homestay.
“Gimana
tadi di Bukit Setumbu?”
tanya Nindri penasaran. “Ini
liat aja foto-fotonya” jawab gue sambil menyodorkan kamera.
Semua
tas sudah terkumpul di ruang tengah, teman-teman memeriksa kembali ke kamarnya
untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Kamar sudah kosong, hanya tersisa
kasur kapuk dan bantal-guling. Kami semua sudah bersiap untuk kembali ke Jogja.
Tempat
pertama kami setelah meninggalkan homestay adalah warung makan kupat tahu
persis didepan pintu masuk Borobudur. Perut yang sejak pagi tadi belum terisi
sudah mengaum-ngaum minta diisi. Sekarang sudah pukul 12 siang dan kita belum
makan pagi. Aroma saus kacang menambah lapar kami ketika memesan 10 porsi kupat
tahu dan sisanya memilih soto ayam untuk menjadi santapan pagi pertama di Borobudur.
perut sudah terisi, kami melanjutkan kembali perjalanan menuju Jogja.
“Sampai
di Jogja kita nanti keliling sekitar Malioboro aja ya untuk ngabisin waktu nunggu
kereta.” Nindri setengah semangat berteriak. Semua sepakat untuk tidak pergi
terlalu jauh dari stasiun cukup sekitar Malioboro saja. Gue tidak mengiyakan,
karena gue sudah janji untuk ketempat Bude di Sleman, bokap juga sudah menyuruh
agar datang kerumah Bude. Gue berpisah dengan mereka saat kami sampai di
Jogja tepatnya di Malioboro.
“Jam
8 yo kita ketemuan lagi di stasiun”, bilang Aryo.
Rumah Bude - Oleh-oleh
Bude
tinggal dengan Pakde dan anak perempuannya Yusniar yang 1 tahun lalu selesai
kuliah di UGM. Rumah Bude selalu istimewa untuk gue. Udara sejuk selalu hadir
disekitar rumah mungkin karena masih banyak pohon-pohon rindang di sekitar. Dan
satu lagi yang membuat gue semangat ke rumah Bude, bisa main sama Veky anjing
peliharaan bude yang sudah nurut banget. Biasanya suara gonggongan anjing yang
pertama kali gue denger ketika membuka gerbang rumah bude, namun kali ini beda,
Veky gak bersuara hanya berlari-lari didepan gerbang yang sedang gue buka. Bude
menyuruh gue segera masuk, telah disediakan teh hangat dan kue-kue basah diatas
meja. Berbagai macam pertanyaan disungguhkan oleh Bude dan Pakde. Bertanya
kuliah, magang, skripsi dan menanyakan kenapa teman-teman tidak diajak kerumah.
Bude. yah gw selalu suka dengan rumah ini, Bude memang paling enak untuk diajak
bercerita.
“Terima
kasih ya Bude tapi maaf ya Dio gak bisa lama-lama di sini, teman-teman sudah
nunggu di Stasiun Bude”
“Iya,
pokoknya kalo libur-libur main ke sini aja ya”
jawab Bude pelan.
Sehabis
sholat magrib gue meninggalkan rumah Bude dan kembali menjalankan motor menuju
stasiun untuk berjumpa teman-teman. Sekarang masih pukul setengah 7, masih
sempat untuk membeli oleh-oleh dan makan malam pikir gw. Gue putar balik motor
yang sebenarnya sudah sedikit lagi sampai di daerah Malioboro. Sempat dengar
saat dikereta Anisa bilang tempat susu yang lumayan terkenal di Jogja.
Kalimilk. Modal bertanya dan sempat beberapa kali salah jalan akhirnya gue sampai di depan bagunan yang
terbuat dari kayu-kayu, sampai juga di Kalimilk.
Kalimilk
Tempat
anak gaul Jogja. Pikiran pertama gue saat masuk kedalam cafe yang terkenal
dengan susunya ini. Anak-anak muda dengan pakaian model terbaru yang gue liat
di setiap tempat duduknya. Ada
satu yang paling brongs, seorang perempuan dengan menegenakan kebaya bewarna
merah muda dipadu dengan celana jins mendekati gue. Manis gila nih perempuan, sumpah
pegawainya cakep-cakep sob. Disodorkannya daftar menu, gw tanya menu yang paling
enak tapi murah disini, perempuan ini hanya cengar-cengir aja yang menurut gue
itu menambah kemanisannya 20 persen.
Susu
karamel dan dua pasta menjadi pilihan gue. Sambil menunggu makanan datang gue
tanya-tanya ke perempuan berkebaya merah muda tempat oleh-oleh yang enak di
Jogja, perempuan berkebaya merah muda membalas bertanya dari mana saja liburan
di Jogja.
“Waisak, aku sama teman-temanku ngeliput
acara waisak kemarin di Borobudur” jawab gue santai. “Bukanya
ditunda ya? Denger-denger banyak masalah ya pas kemarin perayaan Waisak
disana?” tanyanya kembali.
Obrolan kita berlanjut bukan hanya masalah waisak
dan tempat oleh-oleh, namun sayang belum sempat menanyakan namanya, teriakan
memanggil nama gue menandakan pesanan gue sudah siap. Gue menyudahi obrolan dengan perempuan
berkebaya merah mudah.
Ketika
kembali dari kasir dan mengambil pesanan,
perempuan itu sudah tidak ada, mungkin sedang melayanin pelanggan
lainya. gue tunggu sambil menghabiskan susu karamel yang masih dingin. Sampai
susu habis gue gak ngeliat lagi perempuan berkebaya merah muda.
Sebenernya
masih mau nunggu tapi Aryo udah sms suruh cepet ke Stasiun, pas gue lirik jam
di hp sudah menunjukan pukul setengah 8. Bergegas gue melanjutkan perjalanan gue
ini.
Rumah Coklat.
Gak
terlalu jauh si dari kalimilk dan searah pula menuju Stasiun. Mampirlah gue
ketempat yang katanya terkenal menjual coklat ini. Aroma coklat langsung tercium saat gue buka
pintu masuk. Menuju rak-rak tempat penyimpanan coklak. Mulai dari coklat
batang, berbentuk hati hingga ada yang berbentuk sendok dan garpu tersusun rapi
di dalam rak. Satu kotak coklat berisikan 20 coklat bundar-bundar gue pilih
untuk buah tangan teman di Malang dan coklat garpu-sendok untuk teman-teman
yang menunggu di Stasiun.
Rintik-rintik
hujan jatuh menemani detik-detik terahkir di Kota Jogja. Semua teman DIANNS telah berkumpul di peron menunggu datangnya kereta Malioboro
Ekspres. Raut
kelelahsn yang bersiap tertidur pulas di dalam
kereta terlihat dari wajah kami. Selamat tinggal Borobudur selamat tinggal
Yogyajarta.
Malang, Kembali
Senin,
27 Mei 2013
Tidak
ada bunyi ayam berkokok melainkan deru rem kereta api yang menjadi membangunkan kami di pagi ini. “Becaknya neng, taksinya
mas, naik angkot aja ayuk!” teriak semangat para bapak-bapak ketika kami
memasuki pintu keluar Stasiun Kota Baru, Malang.
Kembali
ke Kota Malang, kembali menikmati hari-hari sibuk sebagai seorang mahasiswa,
tugas dan UAS menanti, namun lamunan empuk kasur sedikit membuat semangat untuk
cepat-cepat sampai di kosan.
“Terima
kasih rek semuanya, besok ketemu di DIANNS ya”
“Foto-fotonya
dibawa besok, aku mau minta”
“Yang
naek AL ayo bareng-bareng aja”
“Rek pulang duluan ya semuanya”.
Teriakan-teriakan
perpisahan terucap, satu persatu dari kami yang mulai meninggalkan stasiun. Sebuah
perjalanan panjang yang melelahkan namun membekas, sebuah perjalanan yang biasa
namun menyenangkan.
Terima
kasih Yogyakarta yang tetap macet kala libur datang, terima kasih Borobudur
yang memberikan hujanmu, terima kasih Stasiun yang selalu menjadi pijakan pertama
kaki kami di setiap kota, terima kasih Bude yang memberikan uang saku untuk
bensin yang telah menunjukan garis E,
terima kasih perempuan berkebaya merah muda atas obrolan malamnya dan
terimakasih Veky yang gak mau gue dipeluk saat meninggalkan rumah Bude.
ku ceritakan semua kepadanya
lebih “telanjang” dari tulisan ini
“Mungkin kau tak bisa melihat
lampion-lampion di langit malam,
namun kau dapat melihat lampion-lampion di hati mereka”
Foto-foto: