Senin, 17 Juni 2013

Malang - Jogja - Magelang (part II)



Part II
Sabtu, 25 Mei 2013   

Sumpah rame banget, lebih rame dari pertama gue liat diawal saat nunggu mas Dian jemput. Pintu masuk Manohara masih ditutup untuk umum, 15 menit lagi baru dibuka, begitulah yang kami dengar dari petugas keamana Walubi. Pintu telah dibuka, para pengunjung yang ingin menyasikan perayaan Waisak diperbolehkan masuk. Para pengunjung harus melewati pintu metal detector terlebih dahulu dan pemeriksaan tas oleh petugas. Antrian terlihat sangat panjang mulai dari anak-anak hingga mbah-mbah yang sudah lanjut usia antri dalam barisan. Petugas kemanan menolak untuk diwawancarai ketika kami mendekat untuk melakukan wawancara.

 









“Yaudah kita lanjut aja ke dalam”, seru Anisa untuk meninggalkan area pintu masuk yang sangat ramai akan antusiasme para pengunjung. Masuklah kami kedalam area candi Borobudur. 

“Borobudur, itu Candi Borobudur”, gue menunjuk ke arah candi yang terlihat baru kepalanya saja karena terhalang oleh beberapa tenda marinir. Akhirnya untuk yang pertama kali gue bisa melihat Borobudur secara langsung. 

”Ayo deh langsung aja keatas, nunggu disana aja”, dengan semangat ‘45 gue mengajak teman-teman lainnya untuk lebih dekat ke Candi Borobudur.  Aryo yang kelelahan, bercucuran keringat mengajak teman-teman untuk bersantai sejenak. 

“Istirahat sebentar Yo, duduk-duduk aja dulu disini”, kata Aryo pelan. 

Suara-suara gemuruh mulai terdengar dari pintu masuk Manohara, rombongan biksu satu persatu masuk kedalam area Candi Borobudur. Mereka masuk kedalam tenda masing-masing majelis untuk merayakan Waisak dan kemudian berlanjut ke panggung utama untuk melakukan perayaan secara besama-sama dan puncak utamanya ialah pelepasan 1000 lampion. Jam masih menunjukan pukul 15.00 saat gue mengajak teman-teman untuk ke atas candi Borobudur. Kita sepakat berpencar gue, Anisa, Apink dan Ani yang berangkat ke atas, sementara Aryo dan Hesti tetap ditempat peristrahatan sembari menunggu teman-teman kelompok satu datang dan baru nanti mereka menyusul. “Yaudah lo duluan aja Yo, nanti gue nyusul sama yang lainnya”, sambung Aryo ketika gue bersiap-siap.











Suasana Candi Borobudur semakin ramai, berbagai macam orang terkumpul semua ada disini. Keluarga, rombongan hunting foto, hingga pasangan muda-mudi terlihat dalam perayaan ini. Sesaat gue terdiam Sumpah Gepar! (gede parah), seru gue dalam hati ketika sampai di pelantara Candi Borobudur diriingi tawa 3 perempuan yang bersama gue. Maklum hanya gue dari mereka yang baru pertama kali melihat candi Borobudur. Kami mengelilingi Candi Borobudur sambil berfoto-foto. Setelah puas berkeliling Borobudur, kami beristirahat sejenak. Bercerita tentang sejarah borobudur, perayaan Waisak yang ramai sampai membayangkan kasur empuk di kosan menjadi teman obrolan kita saat beristirahat. 

“Ini bener-bener kaya gak kekontrol ya?”  ceteluk gue.
“Kaya Borobudur dijebol terus semua orang bisa masuk bebas, makanya rame banget”, sambung Anisa. 


Bingung sih awalnya saat gue masuk ke Borobudur untuk ngliput acara perayaan Waisak ini. Ramai banget sumpah, ritual agama yang seharusnya sakral, hening dan tenang berubah seperti pertunjukan wisata yang gaduh dan sesak akan antusiasnya para pengunjung yang menganggu kekhusyukan ritual agama ini. 
 

Bukan pembenaran, tapi toh gue kesana dengan rombongan 15 orang ini dengan tujuan yang cukup jelas yaitu acara peliputan dari kampus gue, seminggu sebelum keberangkatan gue pun menghubungi seketariat Walubi yang berada di Malang untuk meminta surat rekomendasi, tapi mereka menuyuruh langsung saja ke bagian humas saat perayaan tiba. Teman gue yang jalan duluan dari Jogja juga sudah meminta kartu pers namun kartu peserta, fotografer dan pers sudah habis, dan kita diperbolehkan memakai kartu pers internal kami.

Ketika gue, Anisa, Apink dan Ani yang sedang asik mengobrol terdengar suara gaduh. Ternyata ada beberapa biksu yang sedang melakukan ibadah di salah satu sudut Candi Borobudur. Sekejap para fotografer mendekati untuk mendapatkan angle terbaiknya, tanpa mempedulikan biksu yang sedang beribadah. “Mereka memang berhasil menjadi fotografer tetapi mereka gagal menjadi MANUSIA”.  Miris, sangat miris kepada mereka yang seenaknya memotret tanpa memedulikan objek yang difoto. Jujur tangan ini gatal ingin ikut mengabadikan momen yang bagus dan jarang seperti itu tapi gue urungkan niat gue ini cukup dari kejauhan gue memotret kejadian itu



Ada yang mencolok dari pelantaran Candi Borobudur, sebuah pangung dengan patung Budha dengan disamping-sampingnya terdapat janur kuning. Penasaran untuk apa panggung tersebut kami pun mendekat. 

“Oh ini ternyata panggung utamanya” seru Apink seketika saat melihat panggung dari depan. Peristirahatan kami pindahkan persis didepan panggung utama yang telah disediakan karpet untuk para pengunjung melihat acara perayaan Waisak. Disinilah nanti pembukaan perayaan waisak oleh perwakilan Walubi dan sambutan oleh Menteri Agama setelah itu dilanjutkan dengan pelepasan 1000 lampion. 








 
Hari semakin sore, saat itu jam menunjukan pukul17.00, karpet yang tadinya hanya terisi oleh beberapa orang sekarang mulai dipenuhi oleh pengunjung yang tak mau terlambat melihat pembukaan acara. Teman-teman kami yang dari Candi Mendut pun sudah bergabung besama kami.

Rintik-rintik hujan tak menyurutkan para pengunjung untuk melihat acara Waisak, dipakainya payung serta jas hujan telah mereka siapkan. Rombongan biksu dan biksuni memasuki panggung utama dengan pakaian khas mereka. Hujan makin derasnya membasahi Candi Borobudur dan entah kenapa acara belum dimulai juga. 











 








“Kita sambut kedatangan Menteri Agama Republik Indonesia”, MC berteriak ketika ada rombongan dengan pakaian batik bergerombolan memayungi  salah satu lelaki dibalik badan besar mereka. Bukan sambutan bahagia tapi teriakan kekecewaan pengunjung yang keluar dari mulut. Yah hanya karena menunggu Menteri Agama perayaan Waisak ditunda hingga kurang lebih 2 jam. Pukul 20.00 panitia mengumumkan bila 30 menit dari sekarang hujan tak reda maka pelepasan 1000 lampion ditiadakan. Benar saja hujan bukanya reda tetapi malah semakin deras, melihat cuaca seperti ini rombongan DIANNS pun sepakat untuk keluar lebih awal dari Candi Borobudur. 


Kesedihan terpancar dari wajah teman-teman DIANNS, tujuan utama meliput pelepasan 1000 lampion terpaksa hanya menjadi bayangan saja. Kalau saja tahu akan hujan deras sehingga pelepasan lampion ini ditiadakan mungkin mereka tidak akan ikut dalam peliputan Waisak ini. Ya mau bagaimana lagi? gue? Sangat sedih sumpah gak bisa mengabadikan pelepasan lampion ini, tapi ya sudahlah terima saja dengan senyuman. Kami memang sedih tapi mungkin mereka lebih sedih karena tidak dapat menerbangkan niat harapan mereka bersama lampion di saat Waisak. 


Kuyup Hujan lalu Kembali ke Homestay


Homestay kembali dipenuhi dengan suara kaki. Teman-teman bergantian keluar-masuk kamar mandi untuk membasuh badan agar tidak masuk angin .Tak banyak obrolan yang keluar dari mulut kami hanya raut kedinginan dan basah kuyup akibat badan terguyur bebas air hujan. Perut yang kosong membawa kami pada keheningan. Lapar dan lelah.


Kami semua berkumpul di ruang tengah, menunggu Anisa, Fajar dan Ican yang belum datang. Anatara menunggu teman kami ini atau menunggu datangnya nasi goreng yang dibeli mereka. gue melirik jam ditangan, sudah hampir pukul 12 malam. 


“Makasih ye, buru deh ganti baju”, sahut Aryo melihat teman-teman yang baru datang. Makan malam kali ini sedikit berbeda, hanya sesekali tawa yang keluar dari obrolan kami.
“Besok gimana nih? Jadi liat sunrise di Bukit Setumbu gak?” tanya gue memecah keheningan. 


Tak ada kebisingan saat kita memulai tidur berbeda saat malam pertama menginap di homestay Jogja. Badan yang kedinginan serta kaki yang serasa ingin copot membuat mata langsung tertutup ketika badan jatuh diatas kasur. Suara televisi dan kesibukan diruang tengah membangunkan gue. Setengah 5 pagi ketika melihat jam di hp, gw masih sempat berpikir untuk pergi ke Bukit Setumbu. Hanya ada dua orang yang gue lihat ketika keluar dari kamar. 


Bukit Setumbu dan Selamat tinggal

Minggu, 26 Juni 2013


“Pagi Pak” menyapa pemilik homestay yang sedang menonton ceramah pagi di sebuah telivisi. Tidak semua yang ikut hanya bebrapa saja dari kami. Lima motor siap berangkat. 

Hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai di area Bukit Setumbu. Kami meparkir motor di tempat yang telah disediakan warga, harga masuknya sekitar Rp15.000. Pas gue tanya tiket masuk kepada tiga bapak-bapak yang memegang karcis dan uang di tangannya. Kami semua saling pandang-memandang. Gak ada yang bawa uang, dompet ketinggalan semuanya di homestay. 

“Kalian jalan aja duluan, gw nunggu disini”. Gue menelepon mas Dian meminta tolong membawakan uang, mas Dian mengiyakan. Teman-teman sudah jalan, hanya tersisa gue dan tiga bapak-bapak  yang sedang asik menghitung uang.  “Wah rame dek, liburan gini bisa sampe 400 rang yang dateng”, jawab bapak berbaju putih sambil menghembusan asap rokoknya ketika gue bertanya tentang pengunjung Bukit Setumbu. 


Mas Dian datang dengan menyodorkan uang 200 ribu. 

“Terima kasih ya mas Dian, maaf loh jadi ngerepotin kami tadi buru-buru  jadi gak ada yang bawa dompet deh”. 

“Gapapa ko, oh iya nanti kalo mau check out kabarin ya”, mas Dian pergi lagi dengan motor Yamaha MX-nya.

Gue membayarkan tiket masuk dan segera menyusul teman-teman lainnya. Tanjakan demi tanjakan gue lewati, banyak orang yang sudah turun sementara teman-teman sedang asik menyeruput teh hangat di gazebo pinggir bukit ketika gue sampai.

Matahari sudah mulai menunjukan seluruh wajahnya, kabut sudah hampir menghilang ketika gue mulai mengatur shutter speed di kamera. Dari jauh tampak Candi Borobudur muncul di antara kabut-kabut pagi. Indah. Namun lain halnya dengan salah satu teman kami, indahnya pagi ini bukan karena pemandangan yang disajikan oleh sunrise di Bukit Setumbu. Fajar menggungkapkan perasaannya kepada Bintang. Dua mahluk ini yang paling terlihat bahagia diantara kami. Pemandangan indah ini hanya menjadi pemanis untuk mereka. Walau jawaban “iya” baru dijawab Bintang saat di Malang, Bukit Setumbu menjadi saksi kisah mereka untuk hari-hari selanjutnya sebagai sepasang kekasih.








Setelah puas mengambil gambar dan canda tawa di Bukit Setumbu kami semua kembali ke homestay. Teman-teman yang tidak ikut sibuk menjemur pakaian dan sepatu saat kami sampai di perkarangan homestay. kami pun langsung turun dari motor dan mengambil semua pakaian basah untuk ikut menjemur di sekitar pekarangan homestay. 


“Gimana tadi di Bukit Setumbu?” tanya Nindri penasaran. “Ini liat aja foto-fotonya” jawab gue sambil menyodorkan kamera. 
 

Semua tas sudah terkumpul di ruang tengah, teman-teman memeriksa kembali ke kamarnya untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Kamar sudah kosong, hanya tersisa kasur kapuk dan bantal-guling. Kami semua sudah bersiap untuk kembali ke Jogja.



Tempat pertama kami setelah meninggalkan homestay adalah warung makan kupat tahu persis didepan pintu masuk Borobudur. Perut yang sejak pagi tadi belum terisi sudah mengaum-ngaum minta diisi. Sekarang sudah pukul 12 siang dan kita belum makan pagi. Aroma saus kacang menambah lapar kami ketika memesan 10 porsi kupat tahu dan sisanya memilih soto ayam untuk menjadi santapan pagi pertama di Borobudur. perut sudah terisi, kami melanjutkan kembali perjalanan menuju Jogja. 

“Sampai di Jogja kita nanti keliling sekitar Malioboro aja ya untuk ngabisin waktu nunggu kereta.” Nindri setengah semangat berteriak. Semua sepakat untuk tidak pergi terlalu jauh dari stasiun cukup sekitar Malioboro saja. Gue tidak mengiyakan, karena gue sudah janji untuk ketempat Bude di Sleman, bokap juga sudah menyuruh agar datang kerumah Bude. Gue berpisah dengan mereka saat kami sampai di Jogja tepatnya di Malioboro.
“Jam 8 yo kita ketemuan lagi di stasiun”, bilang Aryo. 

Rumah Bude - Oleh-oleh

Bude tinggal dengan Pakde dan anak perempuannya Yusniar yang 1 tahun lalu selesai kuliah di UGM. Rumah Bude selalu istimewa untuk gue. Udara sejuk selalu hadir disekitar rumah mungkin karena masih banyak pohon-pohon rindang di sekitar. Dan satu lagi yang membuat gue semangat ke rumah Bude, bisa main sama Veky anjing peliharaan bude yang sudah nurut banget. Biasanya suara gonggongan anjing yang pertama kali gue denger ketika membuka gerbang rumah bude, namun kali ini beda, Veky gak bersuara hanya berlari-lari didepan gerbang yang sedang gue buka. Bude menyuruh gue segera masuk, telah disediakan teh hangat dan kue-kue basah diatas meja. Berbagai macam pertanyaan disungguhkan oleh Bude dan Pakde. Bertanya kuliah, magang, skripsi dan menanyakan kenapa teman-teman tidak diajak kerumah. Bude. yah gw selalu suka dengan rumah ini, Bude memang paling enak untuk diajak bercerita.

“Terima kasih ya Bude tapi maaf ya Dio gak bisa lama-lama di sini, teman-teman sudah nunggu di Stasiun Bude”
“Iya, pokoknya kalo libur-libur main ke sini aja ya”  jawab Bude pelan.

 








Sehabis sholat magrib gue meninggalkan rumah Bude dan kembali menjalankan motor menuju stasiun untuk berjumpa teman-teman. Sekarang masih pukul setengah 7, masih sempat untuk membeli oleh-oleh dan makan malam pikir gw. Gue putar balik motor yang sebenarnya sudah sedikit lagi sampai di daerah Malioboro. Sempat dengar saat dikereta Anisa bilang tempat susu yang lumayan terkenal di Jogja. Kalimilk. Modal bertanya dan sempat beberapa kali salah jalan akhirnya gue sampai di depan bagunan yang terbuat dari kayu-kayu, sampai juga di Kalimilk. 

Kalimilk

Tempat anak gaul Jogja. Pikiran pertama gue saat masuk kedalam cafe yang terkenal dengan susunya ini. Anak-anak muda dengan pakaian model terbaru yang gue liat di setiap tempat duduknya. Ada satu yang paling brongs, seorang perempuan dengan menegenakan kebaya bewarna merah muda dipadu dengan celana jins mendekati gue. Manis gila nih perempuan, sumpah pegawainya cakep-cakep sob. Disodorkannya daftar menu, gw tanya menu yang paling enak tapi murah disini, perempuan ini hanya cengar-cengir aja yang menurut gue itu  menambah kemanisannya 20 persen. 

Susu karamel dan dua pasta menjadi pilihan gue. Sambil menunggu makanan datang gue tanya-tanya ke perempuan berkebaya merah muda tempat oleh-oleh yang enak di Jogja, perempuan berkebaya merah muda membalas bertanya dari mana saja liburan di Jogja.
Waisak, aku sama teman-temanku ngeliput acara waisak kemarin di Borobudur” jawab gue santai. “Bukanya ditunda ya? Denger-denger banyak masalah ya pas kemarin perayaan Waisak disana?” tanyanya kembali.

Obrolan kita berlanjut bukan hanya masalah waisak dan tempat oleh-oleh, namun sayang belum sempat menanyakan namanya, teriakan memanggil nama gue menandakan pesanan gue sudah siap. Gue menyudahi obrolan dengan perempuan berkebaya merah mudah.


Ketika kembali dari kasir dan mengambil pesanan,  perempuan itu sudah tidak ada, mungkin sedang melayanin pelanggan lainya. gue tunggu sambil menghabiskan susu karamel yang masih dingin. Sampai susu habis gue gak ngeliat lagi perempuan berkebaya merah muda. 

Sebenernya masih mau nunggu tapi Aryo udah sms suruh cepet ke Stasiun, pas gue lirik jam di hp sudah menunjukan pukul setengah 8. Bergegas gue melanjutkan perjalanan gue ini.

Rumah Coklat.

Gak terlalu jauh si dari kalimilk dan searah pula menuju Stasiun. Mampirlah gue ketempat yang katanya terkenal menjual coklat ini. Aroma coklat langsung tercium saat gue buka pintu masuk. Menuju rak-rak tempat penyimpanan coklak. Mulai dari coklat batang, berbentuk hati hingga ada yang berbentuk sendok dan garpu tersusun rapi di dalam rak. Satu kotak coklat berisikan 20 coklat bundar-bundar gue pilih untuk buah tangan teman di Malang dan coklat garpu-sendok untuk teman-teman yang menunggu di Stasiun. 

Rintik-rintik hujan jatuh menemani detik-detik terahkir di Kota Jogja. Semua teman DIANNS telah berkumpul di peron menunggu datangnya kereta Malioboro Ekspres. Raut kelelahsn yang bersiap tertidur pulas di dalam kereta terlihat dari wajah kami. Selamat tinggal Borobudur selamat tinggal Yogyajarta.

Malang, Kembali

Senin, 27 Mei 2013 

Tidak ada bunyi ayam berkokok melainkan deru rem kereta api yang menjadi membangunkan kami di pagi ini. “Becaknya neng, taksinya mas, naik angkot aja ayuk!” teriak semangat para bapak-bapak ketika kami memasuki pintu keluar Stasiun Kota Baru, Malang. 

Kembali ke Kota Malang, kembali menikmati hari-hari sibuk sebagai seorang mahasiswa, tugas dan UAS menanti, namun lamunan empuk kasur sedikit membuat semangat untuk cepat-cepat sampai di kosan. 

“Terima kasih rek semuanya, besok ketemu di DIANNS ya”

“Foto-fotonya dibawa besok, aku mau minta”

“Yang naek AL ayo bareng-bareng aja” 

Rek pulang duluan ya semuanya”. 

Teriakan-teriakan perpisahan terucap, satu persatu dari kami yang mulai meninggalkan stasiun. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan namun membekas, sebuah perjalanan yang biasa namun menyenangkan. 

Terima kasih Yogyakarta yang tetap macet kala libur datang, terima kasih Borobudur yang memberikan hujanmu, terima kasih Stasiun yang selalu menjadi pijakan pertama kaki kami di setiap kota, terima kasih Bude yang memberikan uang saku untuk bensin yang telah  menunjukan garis E, terima kasih perempuan berkebaya merah muda atas obrolan malamnya dan terimakasih Veky yang gak mau gue dipeluk saat meninggalkan rumah Bude.

ku ceritakan semua kepadanya

lebih “telanjang” dari tulisan ini

“Mungkin kau tak bisa melihat lampion-lampion di langit malam,

namun kau dapat melihat lampion-lampion di hati mereka” 


Foto-foto: