Part I
Perjalanan di Mulai
Halo rek,
untuk pertama kalinya gue menulis catatan perjalanan. Sayang kalo hanya
dijadiin pengalaman sendiri dan sekarang gue akan berbagi kisah perjalanan gue
mulai dari Malang ke Yogyakarta dan menuju Magelang.
Seringnya
mendengar cerita teman-teman tentang pelepasan lampion, ngeliat hasil foto-foto
perayaan Waisak sampai yang terahkir itu nonton film javaheat membuat rasa penasaran
gue semakin bertambah untuk meliat acara tersebut
secara langsung. Pasti Kepar
(keren parah) sob.
Bingung
juga kalo berangkat sendirian kesana, akhirnya gue mencari-cari di forum internet ajakan untuk pergi bersama ke
peryaan Waisak.. Dan bener banyak banget forum-forum travel yang ngebuka threads untuk sama-sama pergi kesana.
Mulai dari Jakarta,
Surabaya, Bali dan masih banyak lagi teman-teman dari pelbagai kota di Indonesia yang mau
meluncur ke Borobudur.
Gue pun
ikut dengan salah satu forum yang mengadakan jalan bareng untuk melihat
perayaan waisak. Namun seminggu sebelum keberangkatan ternyata teman-teman dari
DIANNS banyak banget yang mau ikut melihat perayaan Waisak di Borobudur. Wah mantab, akhirnya
gue
putuskan untuk pergi melihat perayaan Waisak sama teman-teman DIANNS. Rombongan
15 orang sudah siap untuk berangkat dari Malang ke Yogyakarta yang selanjutnya menuju Magelang.
Irit, Jalan Kaki Sob!
Jumat, 24 Mei 2013
Sekitar
pukul 07.00 kita kumpul di Stasiun Kota Baru, Malang. Mengantongi tiket seharga
Rp 80.000 kami sudah siap menaiki kereta Malioboro Ekspres yang akan membawa ke
kota Jogja. Wuuuuih,
hawa dingin yang pertama kali
kami rasakan saat memasuki kereta ini. “Adem gila!” celetuk salah satu teman.
Nyaman banget ini mah, ekonomi AC
harganya Rp 80.000, tempat duduk sudah
empuk dan gak berisik oleh suara pedagang yang seliweran masuk-keluar. Nyapar, nyaman parah sob.


Tut-tut-tut-tut...... Kereta Malioboro Ekspres bergerak dari sarangnya. Perjalanan panjang akan dimulai kawan, kami siap menuju Jogja, siap menikmati dinginnya Borobudur dan siap dengan kuliner-kuliner yang menggoyang lidah.
Sekitar
7 jam kita perjalanan, tepatnya pukul 16.00 kami pun sampai di kota Jogja,
Stasiun Tugu menjadi pijakan pertama kaki kami. Suasana ramai dan padat
terlihat dari sesaknya stasiun oleh para pelancong yang berlibur di kota ini.
Sebelum memulai petualangan, kami bersih-bersih dulu, sholat dan sebagainya di
Stasiun Tugu. Setelah selesai kami pun
melangkahkan kaki, membuka mata untuk melihat keramahan kota Gudeg.
“Beneran
nih kita tidur dijalan?” tanya salah
satu
teman kepada teman-teman DIANNS yang
lain.
Kami saling melirik satu sama lain. Yah, memang
rencana awal (Jumat sore hingga Sabtu pagi) pas sampai Stasiun Tugu sampai
besok pagi kami bakal gabut (gak jelas). Keliling sekitar Malioboro, malemnya nongkrong di Alun-alun Kidul dan tidur
di peron kereta api. Sepeti
itu rencana awalnyanya tapi pas ada teman nyeletuk
nanya tidur dimana kami pun sepakat untuk mencari penginapan.
Tujuan
pertama untuk mencari penginapan adalah Sarkem (sarana olahraga malem). Sarkem memang
terkenal dengan penginapan murahnya, tapi setelah mencari-cari dengan bantuan
teman DIANNS yang sudah ada di Jogja tetep kami gak dapat penginapan, ada sih
1-2 penginapan tapi cuma muat 1-3 orang aja dan harganya selangit.
Senja
di Jogja yang damai membawa kami untuk tetap semangat mencari penginapan,
dengan bantuan Bapak Gio, tukang becak di daerah Sosrowijayan akhirnya kami
mendapatkan penginapan yang bener-bener mupar (murah parah) dan bisa muat 15
orang pula. Kami gak tau nama penginapannya apa, tapi lebih ke homestay gitu sih.
Sebenarnya itu rumah warga Jogja yang dijadiin penginapan dan mereka pun tidur
disitu juga. Kami
menyewa 2 kamar, untuk perempuan dan kamar para cocoga ( Cowo-cowok Gaul)
dengan harga 1 kamar Rp 250.000 dan boleh ditempatin berapapun orang. Yah jadi
Rp 500.000 dibagi 15 orang, jadi kami hanya bayar Rp 34.000 per-orang dan yang
paling parah lagi besok paginya dapet sarapan gudeg gratis. Mupar abeeeees oia
satu lagi, anak
ibu penginapan ini wuhayu tenan sob!


Istirahat
sejenak, meluruskan badan dan mengeringkan ketek-ketek yang basah setelah mencari
penginapan selama kurang lebih 1 jam, sekitar pukul 19.00 setelah sholat isya
kami berangkat untuk menjadi anak nongkrong Jogja. Yaaaah, tujuan gaul pertama
yaitu Alun-alun Kidul. Karena kami Anak DIANNS kami jalan kaki sob, dari
penginapan menuju Alun-alun Kidul butuh waktu 1 jam. Setelah kami tanya kepada si empunya
penginapan, tetep
lanjut.
Di Jogja gak jalan kaki lo bukan anak DIANNS sob!
Pukul 20.00
lebih banyak kami sampai juga di Alun-alun Kidul. Sumpah Rapar (rame parah) lautan manusia, ngambrak dimana-mana dan
pastinya tetep ada dua pohon beringin, sepeda kelap-kelip, nasi kucing,
pengamen, bencong, dan ronde yang menjadi
pemikat
orang-orang ini untuk
datang ke Alun-alun Kidul.
Lelah
berjalan kaki sekitar 1 jam perut pun mulai berteriak minta diisi, ”Tenang rut, kita emang kesini untuk makan tenang”.
Tidak jauh dari dua pohon beringin yang menurut gue keliatan angker kami menghempaskan
bokong untuk menjadi anak nongkrong, Tikar-tikar sengaja sudah disiapkan para
pedagang untuk pengunjung yang mau makan.

15 anak
DIANNS nongkrong di Jogja sob. Ronde, sate ayam dan nasi kucing menjadi teman
nongkrong kami kali ini. Tawa, canda, cahaya bulan dan lengkap dengan petikan
gitar para pengamen membuat sempurnaan keromantisan kota Jogja. Yah Jogja memang Jogja bukan Malang,
bukan Jakarta apalagi Las Vegas inilah Jogja yang akan tetap istimewa biarpun
anak DIANNS jalan kaki kemana-mana.

Tak lama-lama kami jadi anak nongkrong
Alun-alun Kidul, karena ini sekedar sampingan saja, petualangan kami sebenarnya itu besok
sob. Waisak di Borobudur. Kira-kira pukul 22.00 kami pulang menuju homestay,
karena sudah banyak juga yang ngantuk akhirnya kami pulang tidak berjalan kaki
lagi, bisa-bisa tidak bangun besok pagi kalo jalan kaki. Becak menjadi pilihan
kami, sebenarnya kami mau sewa delman tapi karena kudanya sudah pada tidur, yah
kami terpaksa membayar lumayan mahal untuk naik becak.
Sesampainya
di homestay kami semua langsung terlelap, tidak mau terlambat bangun, kami
minta tolong dibangunin juga sama sang empunya homestay. Pukul 5 kami harus bangun, 8 pagi kami berangkat menuju Kota Magelang
tepatnya ke Borobudur untuk tujuan utama perayaan Waisak. .Membayangkan berfoto
dengan biksu, mewawancarai turis, melihat gemerlapnya lampion di tengah malam
di Borobudur membuat kami semakin ingin cepat-cepat melihat matahari esok pagi.
Tak Ada Lampion Malam Ini
Sabtu, 25 Mei 2013
“Rek
bangun rek udah jam 5 ini, ayo siap-siap, mandi, sarapan juga udah ada tuh!” seru
seorang
teman,
mencoba membangunkan kami dari peraduan. Jam di hp sudah menunjukan pukul 04.45
dan Selamat hari waisak untuk Umat Budha di seluruh Dunia. Makna dari hari raya
Waisak ini menurut gue hampir sama dengan makna hari raya besar agama lainya
yaitu mengajakan kita untuk kembali ke kesucian dengan selalu berbaik hati,
berpikir baik, dan memberikan kebahagiaan kepada sesama. Waisak ini
merupakan hari raya terbesar agama Budha karena dalam hari raya ini
memperingati tiga peristiwa pertama kelahiran Sidartha Gautama, kedua
pencapaian penerangan sempurna oleh petapa
Sidartha Gautama dan yang terakhir parinibanna-Nya Sang Buddha. Dan hari
ini kami akan melihat perayaan Waisak terbesar di Indonesia, Borobudur kami
dataaaaaaang.
Gudeg
sudah mengisi perut, badan sudah segar tersiaram air dan mata sudah melek
melihat anak si empu homestay. Kami siap meluncur ke Borobudur. Eits tapi
motornya belum diantar, masih menunggu sekitar 30 menit akhirnya motor sewaan
kami datang juga. Semua sudah siap, tas-tas sudah di packing, tidak ada yang
tertinggal hanya jejak tawa luar biasa di penginapan selama kami disana. Kami pun
pamit kepada si empunya penginapan, dan meminta maaf atas
kebisingan yang kami ciptakan.
Komposisi
Bonceng-membonceng
Dio
|
Hesti
|
Ican
|
Anggi
|
|
Aryo
|
Anisa
|
Fajar
|
Bintang
|
|
Pandu
|
Karima
|
Ani
|
Apink
|
|
Nindri
|
Putri
|
Bagus
|
Tas
gemblok
|
Oia, satu motor jalan terlebih dahulu agar
tidak kehabisan surat masuk. Pandu dengan Karima berjalan lebih awal dari
rombongan lainnya. Setelah semua siap, berdoa dengan keyakinan masing-masing,
rombongan DIANNS siap menikmati perayaan Waisak di Borobudur. Pukul 08.00 motor
beriringan menuju Magelang.
Di sana homestay sudah dipesan disekitar Borobudur, jadi saat sampai disana
kami langsung menuju homestay untuk menaruh semua tas pakaian, hanya alat
peliputan saja yang nantinya kami bawa ke Borobudur.
Selama
perjalan menuju Borobudur dari Jogja mata kami disuguhi sawah-sawah yang
terbentang, pohon-pohon kelapa yang bungkuk seperti kelelahan menahan buahnya
dan kemacetan ketika mau sampai di area Borobudur. Hampir 2 jam perjalanan kami
menuju Borobudur, jam menunjukan pukul 09.50. Entah dimana sekarang kita
berada, hanya ada plang besi bertuliskan “Pintu Masuk Manohara”. Keramai sudah
ada dimana-mana, ratusan mungkin ribuan orang yang datang ke acara ini. Dua kata untuk
pertama ngeliat ini Papar
(padet parah) sob. Bis-bis dari berbagai kota terliat dari platnya yang
beraneka ragam, para penjual makanan, halaman-halaman kosong yang berubah
menjadi tempat parkir, rombongan anak mudah dengan kamera hebatnya menunggu di
sekitar area pintu masuk ini.
“Mas
kami sudah di deket Borobudur ya” gue memberikan ancer-ancer ke mas Dian dari
homestay yang kami sewa agar menjemput rombongan. Menunggu sekitar 15 menit
akhirnya mas Dian datang dengan motornya.
Cuma 5 menit dari Plang pintu Manohara menuju homestay kami. Melihat homestay yang kami tempati kali ini mungkin banyak teman-teman DIANNS yang mengerutkan dahi karena memang menurut gw gak terlalu sepadan sama biaya sewanya, Rp 100.000 per-orang. Rumah warga yang disulap menjadi homsestay, dengan kamar mandi yang masih beralaskan peluran semen saja dan kebun singkong dipelantaran itulah gambaran dari homestay kami ini. Memang tidak cukup bagus tapi bisalah untuk beristirahat nanti setelah lelah meliput perayaan Waisak tapi hal ini tidak menyurutkan semangat kami melihat kemegahan acara nanti.
Panasnya
udara kota Magelang
dan kotornya wajah
karena debu selama perjalanan memaksa
kami melangkah
berebut kamar mandi. Segar, lumayan dingin tapi gak sampai setegah jam keringat sudah
kembali keluar. Iya memang udara hari ini sangat panas mungkin sangat panas
untuk anak-anak DIANNS yang telah terbiasa dengan dinginnya udara Kota Malang,
apalagi di Malang sekarang sedang musim Maba (sebutan musim penerimaan
mahasiswa baru).
“Gimana
sudah siap semuanya? ayo jangan kelamaan, jangan sampe kita ketinggalan rek”. seruan teman kami dengan kumis
panjangnya tak sabar untuk beranjak pergi dari homestay. Untuk kali ini kami
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama meliput perayaan di Candi Mendut menuju
Candi Borobudur dan kelompok kedua stay
di Candi Borobudur.
Kelompok
Pertama
|
Kelompok
Kedua
|
|||
Ican
|
Anggi
|
Dio
|
Hesti
|
|
Nindri
|
Putri
|
Ani
|
Apink
|
|
Fajar
|
Bintang
|
Aryo
|
Anisa
|
|
Pandu
|
Karima
|
|||
Bagus
|
Berangkatlah
kami memulai peliputan. Rombongan pertama jalan terlebih dahulu baru setelah
itu kelompok kedua.
“Makan
dulu aja yuk, bakal laper ini nanti, didalem juga gak ada yang jual makanan kan?”
ajak gue ke teman-teman kelompok dua. Semua mengiyakan. Tempat makan
kami gak terlalu jauh dari pintu masuk Manohara, kebetulan banget di tempat
makan ini bisa parkir motor sampe malem jadinya kami bisa parkir disini. Kupat
tahu dan mie ayam menjadi pilihan makan siang kami. Sedap sob kupat tahunya,
jarang banget di Malang. Setelah perut terisi, semangat untuk meliput perayaan
pun bertambah, kami siap lebih dari siap untuk memulai peliputan ini.
to be continue.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar