Minggu, 16 Juni 2013

Malang - Jogja - Magelang (part I)

 

Perjalanan Melelahkan namun Istimewa

Part I
Perjalanan di Mulai

Halo rek, untuk pertama kalinya gue menulis catatan perjalanan. Sayang kalo hanya dijadiin pengalaman sendiri dan sekarang gue akan berbagi kisah perjalanan gue mulai dari Malang ke Yogyakarta dan menuju Magelang.

Seringnya mendengar cerita teman-teman tentang pelepasan lampion, ngeliat hasil foto-foto perayaan Waisak sampai yang terahkir itu nonton film javaheat membuat rasa penasaran gue semakin bertambah untuk meliat acara tersebut secara langsung. Pasti Kepar (keren parah) sob.

Bingung juga kalo berangkat sendirian kesana, akhirnya gue mencari-cari di forum internet ajakan untuk pergi bersama ke peryaan Waisak.. Dan bener banyak banget forum-forum travel yang ngebuka threads untuk sama-sama pergi kesana. Mulai dari Jakarta, Surabaya, Bali dan masih banyak lagi teman-teman dari pelbagai kota di Indonesia yang mau meluncur ke Borobudur.

Gue pun ikut dengan salah satu forum yang mengadakan jalan bareng untuk melihat perayaan waisak. Namun seminggu sebelum keberangkatan ternyata teman-teman dari DIANNS banyak banget yang mau ikut melihat perayaan Waisak di Borobudur. Wah mantab,  akhirnya gue putuskan untuk pergi melihat perayaan Waisak sama teman-teman DIANNS. Rombongan 15 orang sudah siap untuk berangkat dari Malang ke Yogyakarta yang selanjutnya menuju Magelang.


Irit, Jalan Kaki Sob!
Jumat, 24 Mei 2013

Sekitar pukul 07.00 kita kumpul di Stasiun Kota Baru, Malang. Mengantongi tiket seharga Rp 80.000 kami sudah siap menaiki kereta Malioboro Ekspres yang akan membawa ke kota Jogja. Wuuuuih, hawa dingin yang pertama kali kami rasakan saat memasuki kereta ini. “Adem gila!” celetuk salah satu teman. Nyaman banget ini mah, ekonomi AC harganya Rp 80.000, tempat duduk sudah empuk dan gak berisik oleh suara pedagang yang seliweran masuk-keluar. Nyapar, nyaman parah sob.














 Tut-tut-tut-tut...... Kereta Malioboro Ekspres bergerak dari sarangnya. Perjalanan panjang akan dimulai kawan, kami siap menuju Jogja, siap menikmati dinginnya Borobudur dan siap dengan kuliner-kuliner yang menggoyang lidah.


Sekitar 7 jam kita perjalanan, tepatnya pukul 16.00 kami pun sampai di kota Jogja, Stasiun Tugu menjadi pijakan pertama kaki kami. Suasana ramai dan padat terlihat dari sesaknya stasiun oleh para pelancong yang berlibur di kota ini. Sebelum memulai petualangan, kami bersih-bersih dulu, sholat dan sebagainya di Stasiun Tugu. Setelah selesai kami pun melangkahkan kaki, membuka mata untuk melihat keramahan kota Gudeg.












“Beneran nih kita tidur dijalan?” tanya salah satu teman kepada teman-teman DIANNS yang lain.

Kami saling melirik satu sama lain. Yah, memang rencana awal (Jumat sore hingga Sabtu pagi) pas sampai Stasiun Tugu sampai besok pagi kami bakal gabut (gak jelas). Keliling sekitar Malioboro, malemnya nongkrong di Alun-alun Kidul dan tidur di peron kereta api. Sepeti itu rencana awalnyanya tapi pas ada teman nyeletuk nanya tidur dimana kami pun sepakat untuk mencari penginapan.

Tujuan pertama untuk mencari penginapan adalah Sarkem (sarana olahraga malem). Sarkem memang terkenal dengan penginapan murahnya, tapi setelah mencari-cari dengan bantuan teman DIANNS yang sudah ada di Jogja tetep kami gak dapat penginapan, ada sih 1-2 penginapan tapi cuma muat 1-3 orang aja dan harganya selangit. 

Senja di Jogja yang damai membawa kami untuk tetap semangat mencari penginapan, dengan bantuan Bapak Gio, tukang becak di daerah Sosrowijayan akhirnya kami mendapatkan penginapan yang bener-bener mupar (murah parah) dan bisa muat 15 orang pula. Kami gak tau nama penginapannya apa, tapi lebih ke homestay gitu sih. Sebenarnya itu rumah warga Jogja yang dijadiin penginapan dan mereka pun tidur disitu juga. Kami menyewa 2 kamar, untuk perempuan dan kamar para cocoga ( Cowo-cowok Gaul) dengan harga 1 kamar Rp 250.000 dan boleh ditempatin berapapun orang. Yah jadi Rp 500.000 dibagi 15 orang, jadi kami hanya bayar Rp 34.000 per-orang dan yang paling parah lagi besok paginya dapet sarapan gudeg gratis. Mupar abeeeees oia satu lagi, anak ibu penginapan ini wuhayu tenan sob!


Istirahat sejenak, meluruskan badan dan mengeringkan ketek-ketek yang basah setelah mencari penginapan selama kurang lebih 1 jam, sekitar pukul 19.00 setelah sholat isya kami berangkat untuk menjadi anak nongkrong Jogja. Yaaaah, tujuan gaul pertama yaitu Alun-alun Kidul. Karena kami Anak DIANNS kami jalan kaki sob, dari penginapan menuju Alun-alun Kidul butuh waktu 1 jam. Setelah kami tanya kepada si empunya penginapan, tetep lanjut. Di Jogja gak jalan kaki lo bukan anak DIANNS sob!




Pukul 20.00 lebih banyak kami sampai juga di Alun-alun Kidul. Sumpah Rapar (rame parah) lautan manusia, ngambrak dimana-mana dan pastinya tetep ada dua pohon beringin, sepeda kelap-kelip, nasi kucing, pengamen, bencong, dan ronde yang menjadi  pemikat orang-orang ini untuk datang ke Alun-alun Kidul.

Lelah berjalan kaki sekitar 1 jam perut pun mulai berteriak minta diisi, ”Tenang rut, kita emang kesini untuk makan tenang”. Tidak jauh dari dua pohon beringin yang menurut gue keliatan angker kami menghempaskan bokong untuk menjadi anak nongkrong, Tikar-tikar sengaja sudah disiapkan para pedagang untuk pengunjung yang mau makan. 




15 anak DIANNS nongkrong di Jogja sob. Ronde, sate ayam dan nasi kucing menjadi teman nongkrong kami kali ini. Tawa, canda, cahaya bulan dan lengkap dengan petikan gitar para pengamen membuat sempurnaan keromantisan kota Jogja. Yah Jogja memang Jogja bukan Malang, bukan Jakarta apalagi Las Vegas inilah Jogja yang akan tetap istimewa biarpun anak DIANNS jalan kaki kemana-mana.  





 










Tak lama-lama kami jadi anak nongkrong Alun-alun Kidul, karena ini sekedar sampingan saja, petualangan kami sebenarnya itu besok sob. Waisak di Borobudur. Kira-kira pukul 22.00 kami pulang menuju homestay, karena sudah banyak juga yang ngantuk akhirnya kami pulang tidak berjalan kaki lagi, bisa-bisa tidak bangun besok pagi kalo jalan kaki. Becak menjadi pilihan kami, sebenarnya kami mau sewa delman tapi karena kudanya sudah pada tidur, yah kami terpaksa membayar lumayan mahal untuk naik becak.

Sesampainya di homestay kami semua langsung terlelap, tidak mau terlambat bangun, kami minta tolong dibangunin juga sama sang empunya homestay.  Pukul 5 kami harus bangun,  8 pagi kami berangkat menuju Kota Magelang tepatnya ke Borobudur untuk tujuan utama perayaan Waisak. .Membayangkan berfoto dengan biksu, mewawancarai turis, melihat gemerlapnya lampion di tengah malam di Borobudur membuat kami semakin ingin cepat-cepat melihat matahari esok pagi.


 Tak Ada Lampion Malam Ini
Sabtu, 25 Mei 2013 


“Rek bangun rek udah jam 5 ini, ayo siap-siap, mandi, sarapan juga udah ada tuh!seru seorang teman, mencoba membangunkan kami dari peraduan. Jam di hp sudah menunjukan pukul 04.45 dan Selamat hari waisak untuk Umat Budha di seluruh Dunia. Makna dari hari raya Waisak ini menurut gue hampir sama dengan makna hari raya besar agama lainya yaitu mengajakan kita untuk kembali ke kesucian dengan selalu berbaik hati, berpikir baik, dan memberikan kebahagiaan kepada sesama. Waisak ini merupakan hari raya terbesar agama Budha karena dalam hari raya ini memperingati tiga peristiwa pertama kelahiran Sidartha Gautama, kedua pencapaian penerangan sempurna oleh petapa  Sidartha Gautama dan yang terakhir parinibanna-Nya Sang Buddha. Dan hari ini kami akan melihat perayaan Waisak terbesar di Indonesia, Borobudur kami dataaaaaaang.

Gudeg sudah mengisi perut, badan sudah segar tersiaram air dan mata sudah melek melihat anak si empu homestay. Kami siap meluncur ke Borobudur. Eits tapi motornya belum diantar, masih menunggu sekitar 30 menit akhirnya motor sewaan kami datang juga. Semua sudah siap, tas-tas sudah di packing, tidak ada yang tertinggal hanya jejak tawa luar biasa di penginapan selama kami disana. Kami pun pamit kepada si empunya penginapan, dan meminta maaf atas kebisingan yang kami ciptakan.


Komposisi Bonceng-membonceng

Dio
Hesti

Ican
Anggi
Aryo
Anisa

Fajar
Bintang
Pandu
Karima

Ani
Apink
Nindri
Putri

Bagus
Tas gemblok

Oia, satu motor jalan terlebih dahulu agar tidak kehabisan surat masuk. Pandu dengan Karima berjalan lebih awal dari rombongan lainnya. Setelah semua siap, berdoa dengan keyakinan masing-masing, rombongan DIANNS siap menikmati perayaan Waisak di Borobudur. Pukul 08.00 motor beriringan menuju Magelang. Di sana homestay sudah dipesan disekitar Borobudur, jadi saat sampai disana kami langsung menuju homestay untuk menaruh semua tas pakaian, hanya alat peliputan saja yang nantinya kami bawa ke Borobudur.

Selama perjalan menuju Borobudur dari Jogja mata kami disuguhi sawah-sawah yang terbentang, pohon-pohon kelapa yang bungkuk seperti kelelahan menahan buahnya dan kemacetan ketika mau sampai di area Borobudur. Hampir 2 jam perjalanan kami menuju Borobudur, jam menunjukan pukul 09.50. Entah dimana sekarang kita berada, hanya ada plang besi bertuliskan “Pintu Masuk Manohara”. Keramai sudah ada dimana-mana, ratusan mungkin ribuan orang yang datang ke acara ini. Dua kata untuk pertama ngeliat ini Papar (padet parah) sob. Bis-bis dari berbagai kota terliat dari platnya yang beraneka ragam, para penjual makanan, halaman-halaman kosong yang berubah menjadi tempat parkir, rombongan anak mudah dengan kamera hebatnya menunggu di sekitar area pintu masuk ini.

“Mas kami sudah di deket Borobudur ya” gue memberikan ancer-ancer ke mas Dian dari homestay yang kami sewa agar menjemput rombongan. Menunggu sekitar 15 menit akhirnya mas Dian datang dengan motornya.


Cuma 5 menit dari Plang pintu Manohara menuju homestay kami. Melihat homestay yang kami tempati kali ini mungkin banyak teman-teman DIANNS yang mengerutkan dahi karena memang menurut gw gak terlalu sepadan sama biaya sewanya, Rp 100.000 per-orang. Rumah warga yang disulap menjadi homsestay, dengan kamar mandi yang masih beralaskan peluran semen saja dan kebun singkong dipelantaran itulah gambaran dari homestay kami ini. Memang tidak cukup bagus tapi bisalah untuk beristirahat nanti setelah lelah meliput perayaan Waisak tapi hal ini tidak menyurutkan semangat kami melihat kemegahan acara nanti.


Panasnya udara kota Magelang dan kotornya wajah karena debu selama perjalanan memaksa kami melangkah berebut kamar mandi. Segar, lumayan dingin tapi gak sampai setegah jam keringat sudah kembali keluar. Iya memang udara hari ini sangat panas mungkin sangat panas untuk anak-anak DIANNS yang telah terbiasa dengan dinginnya udara Kota Malang, apalagi di Malang sekarang sedang musim Maba (sebutan musim penerimaan mahasiswa baru).
“Gimana sudah siap semuanya? ayo jangan kelamaan, jangan sampe kita ketinggalan rek”. seruan teman kami dengan kumis panjangnya tak sabar untuk beranjak pergi dari homestay. Untuk kali ini kami dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama meliput perayaan di Candi Mendut menuju Candi Borobudur dan kelompok kedua stay di Candi Borobudur.



Kelompok Pertama

Kelompok Kedua
Ican
Anggi

Dio
Hesti
Nindri
Putri

Ani
Apink
Fajar
Bintang

Aryo
Anisa
Pandu
Karima



Bagus






Berangkatlah kami memulai peliputan. Rombongan pertama jalan terlebih dahulu baru setelah itu kelompok kedua. 


“Makan dulu aja yuk, bakal laper ini nanti, didalem juga gak ada yang jual makanan kan?  ajak gue ke teman-teman kelompok dua. Semua mengiyakan. Tempat makan kami gak terlalu jauh dari pintu masuk Manohara, kebetulan banget di tempat makan ini bisa parkir motor sampe malem jadinya kami bisa parkir disini. Kupat tahu dan mie ayam menjadi pilihan makan siang kami. Sedap sob kupat tahunya, jarang banget di Malang. Setelah perut terisi, semangat untuk meliput perayaan pun bertambah, kami siap lebih dari siap untuk memulai peliputan ini.


 to be continue.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar